Jumat, 17 Juni 2016

TUGAS SOFTSKILL : NARKOBA



TUGAS SOFTSKILL
NARKOBA




Nama   : YAN APRENDI
NPM   : 1C414344
Kelas   : 2IB05




Medan (ANTARA News) - Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan narkoba salah satu ancaman nyata bagi keamanan dan ketahanan Indonesia sehingga hukuman mati bagi gembong narkoba dinilai sudah tepat.

"Bagaimana masyarakat bisa diandalkan atau ikut dalam mempertahankan kesatuan dan persatuan Indonesia kalau warga terkena narkoba," katanya di Medan, Rabu malam.

            Ia mengatakan hal itu dalam arahannya usai makan malam dan ramah tamah dengan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho, Wakil Gubernur Sumut H.T. Erry Nuradi, Wali Kota Medan Dzulmi Eldin, unsur Forum Koordinasi Pimpinan Daerah, rektor, Forum Strategis, Pepabri, Lembaga Veteran RI, unsur SKPD, dan pemangku kepentingan lain di rumah dinas Gubernur Sumut.

            Oleh karena sudah menjadi ancaman keamanan dan pertahanan Indonesia, katanya, hukuman mati bagi gembong narkoba yang dilakukan Pemerintah Indonesia saat ini sebagai langkah tepat.

"Kalau hukuman mati dikaitkan dengan melanggar HAM (Hak Azasi Manusia), maka saya menilai melindungi dan mempertahankan 240 juta orang rakyat Indonesia dari bahaya narkoba juga adalah HAM," katanya.

            Dia mengaku sudah menjelaskan tentang latar belakang hukuman mati kepada gembong narkoba itu ke berbagai pemerintah negara asing, termasuk Australia yang memprotes hukuman mati bagi warganya. Beberapa negara yang dikunjungi, antara lain Malaysia, Singapura, Prancis, Australia, Jepang, dan Amerika Serikat.

            Ia mengatakan kematian akibat narkoba di Indonesia yang berkisar 40-50 orang per hari merupakan hal yang mengkhawatirkan bagi keamanan dan ketahanan Indonesia. Belum lagi, katanya, dengan nasib 4.500 pemakai yang sedang menjalani rehabilitasi dan 1,2 juta orang yang sudah sulit diobati, yang tentunya menunggu kematian kalau tidak bisa disembuhkan. Dia mengatakan melihat ancaman besar itu, maka hukuman mati bagi gembong narkoba sudah pas.

            Ia menyatakan bersyukur karena pemerintahan di negara yang dikunjungi itu akhirnya memahami tentang perlunya perlindungan terhadap ancaman narkoba, termasuk hukuman mati bagi gembong narkoba.

"Saya kira, protes soal hukuman mati dari pemerintah negara asing itu adalah protes politik karena menunjukkan perlindungan kepada warga negaranya," katanya.

            Apalagi, katanya, nyatanya para gembong narkoba yang sudah dipenjara, tidak bertobat dan malah mengendalikan peredaran narkoba dari dalam penjara. Untuk itu, kata dia, semua pihak terkait, khususnya aparat keamanan perlu mengawasi dan menangani dengan serius kasus narkoba.

           
            Selain ancaman narkoba, kata Ryamizard, ancaman lain yang dihadapi bangsa Indonesia adalah teroris, bencana alam, pelanggaran perbatasan, pencurian sumber daya alam, penyakit menular, dan perang cyber. Oleh karena itu, ancaman-ancaman tersebut juga perlu diwaspadai dan di atasi sebaik-baiknya.

"Karena menyangkut keamanan dan ketahanan serta persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, maka semuanya itu juga menjadi urusan Menteri Pertahanan," ujarnya.
            Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho mengatakan Sumut tahun ini ditugaskan atau ditargetkan pemerintah pusat untuk merehabilitasi 3.777 penderita akibat penyalahgunaan narkoba. Secara nasional, target rehabilitasi untuk 100.000 orang. Ia mengatakan dewasa ini jumlah penderita narkoba yang dirawat di institusi pemerintah, termasuk Kodam I Bukit Barisan tercatat 2.898 orang, sedangkan di komponen masyarakat tercatat 879 orang.


PEMBAHASAN
Permasalahan penyalahgunaan narkotika sudah lama masuk dan dikenal di Indonesia, hal itu dapat dilihat dari dikeluarkannnya Instruksi Presiden Republik Indonesia (INPRES) Nomor 6 Tahun 1971 kepada Kepala Badan Koordinasi Intelijen Nasional (BAKIN) untuk menanggulangi enam permasalahan nasional yang menonjol, salah satunya adalah penanggulangan penyalahgunaan narkotika.
Lambat laun penyalahgunaan narkotika menjadi masalah yang serius, maka dari itu pada zaman Orde Baru pemerintah mengeluarkan regulasi berupa Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
Karena permasalahan penyalahgunaan narkotika sudah menjadi masalah yang luar biasa, maka diperlukan upaya-upaya yang luar biasa pula, tidak cukup penanganan permasalahan Narkotika ini hanya diperankan oleh para penegak hukum saja, tapi juga harus didukung peran serta dari seluruh elemen masyarakat.
Kenyataan itulah yang menjadi latar belakang berdirinya Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN pun gencar melakukan upaya-upaya preventif dan represif untuk mewujudkan Indonesia yang bebas dari narkoba tahun 2015 yang merupakan target dari seluruh negara ASEAN.
Upaya-upaya itu meliputi penyelamatan para pengguna narkoba dengan cara rehabilitasi, dan memberantas para bandar, sindikat, dan memutus peredaran gelap narkotika. Tetapi itu tidak cukup, karena diperlukan pula upaya preventif berupa pencegahan agar tidak muncul pengguna/pecandu narkotika yang baru, mengingat kata pepatah yang mengatakan, “lebih baik mencegah daripada mengobati”. Pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika saat ini tidak hanya ada pada kalangan yang cukup umur saja, bahkan pada  kalangan yang belum cukup umur. Oleh karena itu diperlukan upaya pencegahan penyalahgunaan narkotika sejak dini.
Keseriusan pemerintah dalam menanggulangi permasalahan penyalahgunaan narkotika tersebut sangat diperlukan. Terutama penyamaan kedudukan permasalahan narkotika dengan permasalahan korupsi dan terorisme. Ketiga permasalahan tersebut sama-sama mempunyai dampak yang sistemik, mengancam ketahanan nasional, serta merusak kesehatan masyarakat terutama generasi muda.
Permasalahan
Dapat dilihat permasalahan yang timbul adalah dari segi penanganan para penyalahguna narkotika. Menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika,
“Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan.”
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa narkotika adalah zat atau obat yang sangat penting untuk keperluan pengobatan, tetapi justru akan menimbulkan masalah yang besar apabila di salah gunakan. Pasal 7 UU No. 35 Tahun 2009 menyatakan bahwa Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Di samping itu, Pasal 1 angka 15 UU No. 35 Tahun 2009, menyatakan bahwa penyalah guna adalah orang yang menggunakan narkotika secara tanpa hak dan melawan hukum.  Orang yang menggunakan narkotika secara tanpa hak dan melawan hukum di sini dapat diklasifikasikan sebagai pecandu dan pengedar yang menggunakan dan melakukan peredaran gelap narkotika.
Undang-undang pun sudah memberikan penjelasan yang sangat jelas. Undang-undang No. 35 Tahun 2009 itu pada dasarnya mempunyai 2 (dua) sisi, yaitu sisi humanis kepada para pecandu narkotika, dan sisi yang keras dan tegas kepada bandar, sindikat, dan pengedar narkotika. Sisi humanis itu dapat dilihat sebagaimana termaktub pada Pasal 54 UU No. 35 Tahun 2009 yang menyatakan, Pecandu Narkotika dan korban penyalagunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Sedangkan sisi keras dan tegas dapat dilihat dari pasal-pasal yang tercantum di dalam Bab XV UU No. 35 Tahun 2009 (Ketentuan Pidana), yang mana pada intinya dalam bab itu dikatakan bahwa orang yang tanpa hak dan melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan, hukumannya adalah pidana penjara. Itu artinya undang-undang menjamin hukuman bagi pecandu/korban penyalahgunaan narkotika berupa hukuman rehabilitasi, dan bandar, sindikat, dan pengedar narkotika berupa hukuman pidana penjara.
Permasalahan yang muncul adalah dari perbedaan persepsi antar para aparat penegak hukum yang kemudian menimbulkan penanganan penyalahguna narkotika yang berbeda-beda pula. Sangat sering terjadi penyidik menggunakan pasal yang tidak seharusnya diberikan kepada pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika. Jaksa Penuntut Umum pun hanya bisa melanjutkan tuntutan yang sebelumnya sudah disangkakan oleh penyidik, yang kemudian hal itu berujung vonis pidana penjara oleh Pengadilan (Hakim) kepada para pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika.

Seharusnya aparat penegak hukum dapat lebih jeli lagi melihat amanat Undang-Undang dan regulasi lainnya yang mengatur tentang penanganan penyalahguna narkotika. Sudah jelas dikatakan dalam pasal 54 yang mengutamakan bahkan wajib hukumnya  pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika untuk menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, hal itu diperkuat lagi oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika.
PP ini bertujuan untuk memenuhi hak pecandu Narkotika dalam mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Apa yang dimaksud dalam PP No. 25 Tahun 2011 ini pun semestinya dijalankan pula oleh para aparat penegak hukum mengingat Peraturan Pemerintah termasuk dalam hierarki perundang-undangan.
Begitu pula apabila kita lihat dari sisi hakim. Hakim seharusnya dapat memperhatikan pasal-pasal pada UU No. 35 Tahun 2009, sebagai berikut:
PASAL 103 UU No. 35 Tahun 2009
(1)   Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika dapat :
1.      Memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tidak pidana narkotika; atau
2.      Menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika pecandu Narkotika tesebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidan Narkotika.
(2)   Masa menjalani pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimna  dimaksud pada ayat (1) huru a diperhitungkan sebagai masa menjalanani hukuman.
dan,
PASAL 127 UU No. 35 Tahun 2009
(2)   Dalam memutus perkara, hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksdu dalam pasal 54, pasal 55, dan pasal 103.
Pasal 54, 55, dan 103 UU No. 35 Tahun 2009, lebih mengutamakan para pecandu dan korban penyalahgunaan Narkotika untuk direhabilitasi.
 Kesimpulan dan Saran
Pada permasalahan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa penanganan para penyalahguna narkotika di Indonesia masih rancu. Para pecandu narkotika yang merupakan korban pada akhirnya banyak divonis pidana penjara dan ditempatkan dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), yang mana dalam lapas tersebut para pecandu narkotika disatukan dengan para bandar, sindikat, dan pengedar gelap narkoba.
Padahal fakta empiris tegas melihat bahwa peredaran narkotika di dalam lapas juga marak. Itu artinya, vonis pidana penjara dan penempatan para pecandu Narkotika di dalam lapas tidaklah efektif, belum tentu pula menimbukan efek jera. Yang terjadi, para pecandu tersebut  akan semakin kecanduan dan makin mudah memakai barang haram tersebut karena berbaur dengan para bandar, sindikat, dan pengedar narkotika.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, mengingat tindak pidana narkotika merupakan kejahatan yang luar biasa, maka diperlukan penanganan yang luar biasa pula. Sebagaimana yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional, adanya strategi Pencegahan dan Pemberantasan  Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN), yang diperkuat lagi oleh Instruksi Presiden  No.11 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional P4GN.
Dalam strategi tersebut, tahun 2014 ditetapkan sebagai tahun penyelamatan para pecandu narkotika demi menurunkan prevalensi pecandu narkotika dan sebagai salah satu cara untuk mewujudkan tahun 2015 Indonesia bebas dari narkoba.
Selain itu terdapat juga program dekriminalisasi dan depenalisasi terhadap para pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika, di mana dekriminalisasi itu adalah proses penghapusan tuntutan pidana kepada para pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika dalam tahap penyidikan, penuntutan, dan pengadilan.
Sedangkan depenalisasi adalah suatu keadaan dimana para pecandu dan korban penyalagunaan narkotika melaporkan diri kepada Institusi Penerima Wajib Lapor yang ditunjuk oleh Pemerintah yang kemudian para pecandu dan korban penyalahguna narkotika tersebut diberikan perawatan berupa rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Menurut saya, diperlukan persamaan persepsi antar penegak hukum dalam hal penanganan para penyalahguna narkotika.
Dalam hal persamaan persepsi antar para penegak hukum, sudah terbit Peraturan Bersama antara Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Republik Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, dan Badan Narkotika Nasional. Yang ditandangani oleh Ketua MA, Menteri Hukum & HAM, Jaksa Agung, Menkes, Mensos, dan Kepala BNN pada 11 Maret 2014.
Peraturan Bersama tersebut terkait penanganan Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi dan bertujuan untuk mendekriminalisasikan para pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika.
Peraturan bersama ini merupakan langkah konkret bagi pemerintah dalam menekan jumlah pecandu dan korban penyalahgunaan Narkotika di Indonesia.
Perubahan besar terjadi pada orientasi penanganan pengguna Narkoba pada pasca-ditandatanganinya Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menkumham, Menkes, Mensos, Jaksa Agung, Kapolri dan Kepala BNN dimana selama ini pengguna bermuara pada hukuman pidana penjara.

Ke depan diharapkan, para pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika akan bermuara di Lembaga Rehabilitasi. Karena hukuman bagi pengguna disepakati berupa pidana rehabilitasi. Hakim mempunyai peran yang sangat penting dalam rangka mendekriminalisasikan pengguna narkotika dengan menjatuhkan hukuman rehabilitasi. Untuk lebih memfungsikan peran hakim tersebut perlu dukungan dari aparat penegak hukum berupa peraturan bersama.
Dalam peraturan bersama tersebut dibentuk Tim Asessmen Terpadu yang berkedudukan di tingkat pusat, tingkat provinsi, tingkat kabupaten/kota. Tim tersebut terdiri dari tim dokter dan tim hukum yang bertugas: melaksanakan analisis peran tersangka yang berkaitan dengan peredaran gelap narkotika (terutama pengguna); melaksanakan analisis hukum, analisis medis dan analisis psikososial; serta membuat rencana jangka waktu rehabilitasi yang diperlukan. Hasil asessmen tersebut kemudian menjadi pendukung dalam hal pembuktian bagi pelaku tindak pidana narkotika untuk dikategorikan sebagai pacandu atau pengedar.
Persamaan persepsi antar penegak hukum menurut saya belum cukup. Dalam hal pelaksanaan rehabilitasi dan wajib lapor kepada para pecandu dan penyalahguna narkotika diperlukan upaya yang luar biasa, yakni peran serta dari seluruh elemen masyarakat untuk ikut menyosialisasikan dan mendorong agar para pecandu dan korban penyalahguna narkotika secara sukarela melaporkan dirinya ke Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) yang ditunjuk oleh Pemerintah sebagaimana amanat dari Pasal 55 UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan PP No. 11 Tahun 2012 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika.
Pasal 55 UU No. 35 Tahun 2009, menyatakan bahwa;
(1)   Orang tua atau wali dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
(2)   Pecandu Narkotika yang sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Oleh karena amanat dari pasal 55 UU No. 35 Tahun 2009 tersebut, maka diperlukan pula peran dari si pecandu/korban penyalahgunaan narkotika, keluarga dan masyarakat untuk mendorong para pecandu tersebut agar secara sukarela melaporkan dirinya ke Institusi Penerima Wajib Lapor untuk mendapatkan perawatan berupa rehabilitasi medis dan sosial.
Di tahun 2015, penanganan terhadap bandar/pengedar memang patut diacungi jempol, beberapa dari mereka yang berasal dari luar negeri maupun dalam sudah dieksekusi mati. Kebijakan dan keseriusan presiden bersama penegak hukum patut diapresiasi karena telah menjalankan amanat UU Narkotika. Namun sekali lagi pertanyaannya adalah bagaimana dengan penanganan para pecandu yang menurut UU adalah korban?