TUGAS
SOFTSKILL
NARKOBA
Nama : YAN
APRENDI
NPM : 1C414344
Kelas : 2IB05
Medan (ANTARA News) -
Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengatakan narkoba salah satu ancaman
nyata bagi keamanan dan ketahanan Indonesia sehingga hukuman mati bagi gembong
narkoba dinilai sudah tepat.
"Bagaimana masyarakat bisa diandalkan atau ikut dalam
mempertahankan kesatuan dan persatuan Indonesia kalau warga terkena
narkoba," katanya di Medan, Rabu malam.
Ia mengatakan hal itu dalam arahannya usai makan malam dan ramah tamah dengan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho, Wakil Gubernur Sumut H.T. Erry Nuradi, Wali Kota Medan Dzulmi Eldin, unsur Forum Koordinasi Pimpinan Daerah, rektor, Forum Strategis, Pepabri, Lembaga Veteran RI, unsur SKPD, dan pemangku kepentingan lain di rumah dinas Gubernur Sumut.
Oleh karena sudah menjadi ancaman keamanan dan pertahanan Indonesia, katanya, hukuman mati bagi gembong narkoba yang dilakukan Pemerintah Indonesia saat ini sebagai langkah tepat.
"Kalau hukuman mati dikaitkan dengan melanggar HAM (Hak Azasi Manusia), maka saya menilai melindungi dan mempertahankan 240 juta orang rakyat Indonesia dari bahaya narkoba juga adalah HAM," katanya.
Dia mengaku sudah menjelaskan tentang latar belakang hukuman mati kepada gembong narkoba itu ke berbagai pemerintah negara asing, termasuk Australia yang memprotes hukuman mati bagi warganya. Beberapa negara yang dikunjungi, antara lain Malaysia, Singapura, Prancis, Australia, Jepang, dan Amerika Serikat.
Ia mengatakan kematian akibat narkoba di Indonesia yang berkisar 40-50 orang per hari merupakan hal yang mengkhawatirkan bagi keamanan dan ketahanan Indonesia. Belum lagi, katanya, dengan nasib 4.500 pemakai yang sedang menjalani rehabilitasi dan 1,2 juta orang yang sudah sulit diobati, yang tentunya menunggu kematian kalau tidak bisa disembuhkan. Dia mengatakan melihat ancaman besar itu, maka hukuman mati bagi gembong narkoba sudah pas.
Ia menyatakan bersyukur karena pemerintahan di negara yang dikunjungi itu akhirnya memahami tentang perlunya perlindungan terhadap ancaman narkoba, termasuk hukuman mati bagi gembong narkoba.
"Saya kira, protes soal hukuman mati dari pemerintah negara asing itu adalah protes politik karena menunjukkan perlindungan kepada warga negaranya," katanya.
Apalagi, katanya, nyatanya para gembong narkoba yang sudah dipenjara, tidak bertobat dan malah mengendalikan peredaran narkoba dari dalam penjara. Untuk itu, kata dia, semua pihak terkait, khususnya aparat keamanan perlu mengawasi dan menangani dengan serius kasus narkoba.
Ia mengatakan hal itu dalam arahannya usai makan malam dan ramah tamah dengan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho, Wakil Gubernur Sumut H.T. Erry Nuradi, Wali Kota Medan Dzulmi Eldin, unsur Forum Koordinasi Pimpinan Daerah, rektor, Forum Strategis, Pepabri, Lembaga Veteran RI, unsur SKPD, dan pemangku kepentingan lain di rumah dinas Gubernur Sumut.
Oleh karena sudah menjadi ancaman keamanan dan pertahanan Indonesia, katanya, hukuman mati bagi gembong narkoba yang dilakukan Pemerintah Indonesia saat ini sebagai langkah tepat.
"Kalau hukuman mati dikaitkan dengan melanggar HAM (Hak Azasi Manusia), maka saya menilai melindungi dan mempertahankan 240 juta orang rakyat Indonesia dari bahaya narkoba juga adalah HAM," katanya.
Dia mengaku sudah menjelaskan tentang latar belakang hukuman mati kepada gembong narkoba itu ke berbagai pemerintah negara asing, termasuk Australia yang memprotes hukuman mati bagi warganya. Beberapa negara yang dikunjungi, antara lain Malaysia, Singapura, Prancis, Australia, Jepang, dan Amerika Serikat.
Ia mengatakan kematian akibat narkoba di Indonesia yang berkisar 40-50 orang per hari merupakan hal yang mengkhawatirkan bagi keamanan dan ketahanan Indonesia. Belum lagi, katanya, dengan nasib 4.500 pemakai yang sedang menjalani rehabilitasi dan 1,2 juta orang yang sudah sulit diobati, yang tentunya menunggu kematian kalau tidak bisa disembuhkan. Dia mengatakan melihat ancaman besar itu, maka hukuman mati bagi gembong narkoba sudah pas.
Ia menyatakan bersyukur karena pemerintahan di negara yang dikunjungi itu akhirnya memahami tentang perlunya perlindungan terhadap ancaman narkoba, termasuk hukuman mati bagi gembong narkoba.
"Saya kira, protes soal hukuman mati dari pemerintah negara asing itu adalah protes politik karena menunjukkan perlindungan kepada warga negaranya," katanya.
Apalagi, katanya, nyatanya para gembong narkoba yang sudah dipenjara, tidak bertobat dan malah mengendalikan peredaran narkoba dari dalam penjara. Untuk itu, kata dia, semua pihak terkait, khususnya aparat keamanan perlu mengawasi dan menangani dengan serius kasus narkoba.
Selain ancaman narkoba, kata
Ryamizard, ancaman lain yang dihadapi bangsa Indonesia adalah teroris, bencana
alam, pelanggaran perbatasan, pencurian sumber daya alam, penyakit menular, dan
perang cyber. Oleh karena itu, ancaman-ancaman tersebut juga perlu diwaspadai
dan di atasi sebaik-baiknya.
"Karena menyangkut keamanan dan ketahanan serta persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, maka semuanya itu juga menjadi urusan Menteri Pertahanan," ujarnya.
Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho mengatakan Sumut tahun ini ditugaskan atau ditargetkan pemerintah pusat untuk merehabilitasi 3.777 penderita akibat penyalahgunaan narkoba. Secara nasional, target rehabilitasi untuk 100.000 orang. Ia mengatakan dewasa ini jumlah penderita narkoba yang dirawat di institusi pemerintah, termasuk Kodam I Bukit Barisan tercatat 2.898 orang, sedangkan di komponen masyarakat tercatat 879 orang.
"Karena menyangkut keamanan dan ketahanan serta persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, maka semuanya itu juga menjadi urusan Menteri Pertahanan," ujarnya.
Gubernur Sumut Gatot Pujo Nugroho mengatakan Sumut tahun ini ditugaskan atau ditargetkan pemerintah pusat untuk merehabilitasi 3.777 penderita akibat penyalahgunaan narkoba. Secara nasional, target rehabilitasi untuk 100.000 orang. Ia mengatakan dewasa ini jumlah penderita narkoba yang dirawat di institusi pemerintah, termasuk Kodam I Bukit Barisan tercatat 2.898 orang, sedangkan di komponen masyarakat tercatat 879 orang.
PEMBAHASAN
Permasalahan
penyalahgunaan narkotika sudah lama masuk dan dikenal di Indonesia, hal itu
dapat dilihat dari dikeluarkannnya Instruksi Presiden Republik Indonesia
(INPRES) Nomor 6 Tahun 1971 kepada Kepala Badan Koordinasi Intelijen Nasional
(BAKIN) untuk menanggulangi enam permasalahan nasional yang menonjol, salah
satunya adalah penanggulangan penyalahgunaan narkotika.
Lambat laun
penyalahgunaan narkotika menjadi masalah yang serius, maka dari itu pada zaman
Orde Baru pemerintah mengeluarkan regulasi berupa Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1997 sebagaimana telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang
Narkotika.
Karena
permasalahan penyalahgunaan narkotika sudah menjadi masalah yang luar biasa,
maka diperlukan upaya-upaya yang luar biasa pula, tidak cukup penanganan
permasalahan Narkotika ini hanya diperankan oleh para penegak hukum saja, tapi
juga harus didukung peran serta dari seluruh elemen masyarakat.
Kenyataan
itulah yang menjadi latar belakang berdirinya Badan Narkotika Nasional (BNN).
BNN pun gencar melakukan upaya-upaya preventif dan represif untuk mewujudkan
Indonesia yang bebas dari narkoba tahun 2015 yang merupakan target dari seluruh
negara ASEAN.
Upaya-upaya itu
meliputi penyelamatan para pengguna narkoba dengan cara rehabilitasi, dan
memberantas para bandar, sindikat, dan memutus peredaran gelap narkotika.
Tetapi itu tidak cukup, karena diperlukan pula upaya preventif berupa
pencegahan agar tidak muncul pengguna/pecandu narkotika yang baru, mengingat
kata pepatah yang mengatakan, “lebih baik mencegah daripada mengobati”. Pecandu
dan korban penyalahgunaan narkotika saat ini tidak hanya ada pada kalangan
yang cukup umur saja, bahkan pada kalangan yang belum cukup umur. Oleh
karena itu diperlukan upaya pencegahan penyalahgunaan narkotika sejak dini.
Keseriusan pemerintah
dalam menanggulangi permasalahan penyalahgunaan narkotika tersebut sangat
diperlukan. Terutama penyamaan kedudukan permasalahan narkotika dengan
permasalahan korupsi dan terorisme. Ketiga permasalahan tersebut sama-sama
mempunyai dampak yang sistemik, mengancam ketahanan nasional, serta merusak
kesehatan masyarakat terutama generasi muda.
Permasalahan
Dapat dilihat permasalahan yang timbul
adalah dari segi penanganan para penyalahguna narkotika. Menurut Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika,
“Narkotika adalah zat atau obat yang
berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis,
yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan.”
Dari definisi
tersebut dapat disimpulkan bahwa narkotika adalah zat atau obat yang sangat
penting untuk keperluan pengobatan, tetapi justru akan menimbulkan masalah yang
besar apabila di salah gunakan. Pasal 7 UU No. 35 Tahun 2009 menyatakan
bahwa Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan
kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Di samping itu,
Pasal 1 angka 15 UU No. 35 Tahun 2009, menyatakan bahwa penyalah guna
adalah orang yang menggunakan narkotika secara tanpa hak dan melawan hukum.
Orang yang menggunakan narkotika secara tanpa hak dan melawan hukum di sini
dapat diklasifikasikan sebagai pecandu dan pengedar yang menggunakan dan
melakukan peredaran gelap narkotika.
Undang-undang
pun sudah memberikan penjelasan yang sangat jelas. Undang-undang No. 35 Tahun
2009 itu pada dasarnya mempunyai 2 (dua) sisi, yaitu sisi humanis kepada para
pecandu narkotika, dan sisi yang keras dan tegas kepada bandar, sindikat, dan
pengedar narkotika. Sisi humanis itu dapat dilihat sebagaimana termaktub pada
Pasal 54 UU No. 35 Tahun 2009 yang menyatakan, Pecandu Narkotika dan
korban penyalagunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial.
Sedangkan sisi
keras dan tegas dapat dilihat dari pasal-pasal yang tercantum di dalam Bab XV
UU No. 35 Tahun 2009 (Ketentuan Pidana), yang mana pada intinya dalam bab itu
dikatakan bahwa orang yang tanpa hak dan melawan hukum menanam, memelihara,
memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan, hukumannya adalah pidana
penjara. Itu artinya undang-undang menjamin hukuman bagi pecandu/korban
penyalahgunaan narkotika berupa hukuman rehabilitasi, dan bandar, sindikat, dan
pengedar narkotika berupa hukuman pidana penjara.
Permasalahan
yang muncul adalah dari perbedaan persepsi antar para aparat penegak hukum yang
kemudian menimbulkan penanganan penyalahguna narkotika yang berbeda-beda pula.
Sangat sering terjadi penyidik menggunakan pasal yang tidak seharusnya
diberikan kepada pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika. Jaksa Penuntut
Umum pun hanya bisa melanjutkan tuntutan yang sebelumnya sudah disangkakan oleh
penyidik, yang kemudian hal itu berujung vonis pidana penjara oleh Pengadilan
(Hakim) kepada para pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika.
Seharusnya
aparat penegak hukum dapat lebih jeli lagi melihat amanat Undang-Undang dan
regulasi lainnya yang mengatur tentang penanganan penyalahguna narkotika. Sudah
jelas dikatakan dalam pasal 54 yang mengutamakan bahkan wajib hukumnya
pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika untuk menjalani rehabilitasi medis
dan rehabilitasi sosial, hal itu diperkuat lagi oleh Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu
Narkotika.
PP ini
bertujuan untuk memenuhi hak pecandu Narkotika dalam mendapatkan pengobatan
dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Apa yang
dimaksud dalam PP No. 25 Tahun 2011 ini pun semestinya dijalankan pula oleh
para aparat penegak hukum mengingat Peraturan Pemerintah termasuk dalam
hierarki perundang-undangan.
Begitu pula
apabila kita lihat dari sisi hakim. Hakim seharusnya dapat memperhatikan
pasal-pasal pada UU No. 35 Tahun 2009, sebagai berikut:
PASAL 103 UU No. 35 Tahun 2009
(1) Hakim yang memeriksa
perkara Pecandu Narkotika dapat :
1. Memutus untuk memerintahkan yang
bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika
pecandu narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tidak pidana narkotika;
atau
2. Menetapkan untuk memerintahkan yang
bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika
pecandu Narkotika tesebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidan
Narkotika.
(2) Masa menjalani
pengobatan dan/atau perawatan bagi Pecandu Narkotika sebagaimna dimaksud
pada ayat (1) huru a diperhitungkan sebagai masa menjalanani hukuman.
dan,
PASAL 127 UU No. 35 Tahun 2009
(2) Dalam memutus perkara,
hakim wajib memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksdu dalam pasal 54, pasal
55, dan pasal 103.
Pasal 54, 55, dan 103 UU No. 35 Tahun
2009, lebih mengutamakan para pecandu dan korban penyalahgunaan Narkotika untuk
direhabilitasi.
Kesimpulan dan Saran
Pada
permasalahan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa penanganan para
penyalahguna narkotika di Indonesia masih rancu. Para pecandu narkotika yang
merupakan korban pada akhirnya banyak divonis pidana penjara dan ditempatkan
dalam Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), yang mana dalam lapas tersebut para
pecandu narkotika disatukan dengan para bandar, sindikat, dan pengedar gelap
narkoba.
Padahal fakta
empiris tegas melihat bahwa peredaran narkotika di dalam lapas juga marak. Itu
artinya, vonis pidana penjara dan penempatan para pecandu Narkotika di dalam
lapas tidaklah efektif, belum tentu pula menimbukan efek jera. Yang
terjadi, para pecandu tersebut akan semakin kecanduan dan makin
mudah memakai barang haram tersebut karena berbaur dengan para bandar,
sindikat, dan pengedar narkotika.
Untuk mengatasi
permasalahan tersebut, mengingat tindak pidana narkotika merupakan kejahatan
yang luar biasa, maka diperlukan penanganan yang luar biasa pula. Sebagaimana
yang dilakukan oleh Badan Narkotika Nasional, adanya strategi Pencegahan dan
Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika (P4GN), yang
diperkuat lagi oleh Instruksi Presiden No.11 Tahun 2011 Tentang
Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional P4GN.
Dalam strategi
tersebut, tahun 2014 ditetapkan sebagai tahun penyelamatan para pecandu
narkotika demi menurunkan prevalensi pecandu narkotika dan sebagai salah satu
cara untuk mewujudkan tahun 2015 Indonesia bebas dari narkoba.
Selain itu
terdapat juga program dekriminalisasi dan depenalisasi terhadap para pecandu
dan korban penyalahgunaan narkotika, di mana dekriminalisasi itu adalah proses
penghapusan tuntutan pidana kepada para pecandu dan korban penyalahgunaan
narkotika dalam tahap penyidikan, penuntutan, dan pengadilan.
Sedangkan
depenalisasi adalah suatu keadaan dimana para pecandu dan korban penyalagunaan
narkotika melaporkan diri kepada Institusi Penerima Wajib Lapor yang ditunjuk
oleh Pemerintah yang kemudian para pecandu dan korban penyalahguna narkotika
tersebut diberikan perawatan berupa rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Menurut saya,
diperlukan persamaan persepsi antar penegak hukum dalam hal penanganan para
penyalahguna narkotika.
Dalam hal
persamaan persepsi antar para penegak hukum, sudah terbit Peraturan Bersama
antara Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Republik Indonesia,
Kepolisian Republik Indonesia, Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, dan
Badan Narkotika Nasional. Yang ditandangani oleh Ketua MA, Menteri Hukum &
HAM, Jaksa Agung, Menkes, Mensos, dan Kepala BNN pada 11 Maret 2014.
Peraturan
Bersama tersebut terkait penanganan Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika
ke dalam Lembaga Rehabilitasi dan bertujuan untuk mendekriminalisasikan para
pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika.
Peraturan
bersama ini merupakan langkah konkret bagi pemerintah dalam menekan jumlah
pecandu dan korban penyalahgunaan Narkotika di Indonesia.
Perubahan besar
terjadi pada orientasi penanganan pengguna Narkoba pada pasca-ditandatanganinya
Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Menkumham, Menkes, Mensos, Jaksa Agung,
Kapolri dan Kepala BNN dimana selama ini pengguna bermuara pada hukuman pidana
penjara.
Ke depan diharapkan,
para pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika akan bermuara di Lembaga
Rehabilitasi. Karena hukuman bagi pengguna disepakati berupa pidana
rehabilitasi. Hakim mempunyai peran yang sangat penting dalam rangka
mendekriminalisasikan pengguna narkotika dengan menjatuhkan hukuman
rehabilitasi. Untuk lebih memfungsikan peran hakim tersebut perlu dukungan dari
aparat penegak hukum berupa peraturan bersama.
Dalam peraturan
bersama tersebut dibentuk Tim Asessmen Terpadu yang berkedudukan di tingkat
pusat, tingkat provinsi, tingkat kabupaten/kota. Tim tersebut terdiri dari tim
dokter dan tim hukum yang bertugas: melaksanakan analisis peran tersangka yang
berkaitan dengan peredaran gelap narkotika (terutama pengguna); melaksanakan
analisis hukum, analisis medis dan analisis psikososial; serta membuat rencana
jangka waktu rehabilitasi yang diperlukan. Hasil asessmen tersebut
kemudian menjadi pendukung dalam hal pembuktian bagi pelaku tindak pidana
narkotika untuk dikategorikan sebagai pacandu atau pengedar.
Persamaan
persepsi antar penegak hukum menurut saya belum cukup. Dalam hal pelaksanaan
rehabilitasi dan wajib lapor kepada para pecandu dan penyalahguna narkotika
diperlukan upaya yang luar biasa, yakni peran serta dari seluruh elemen
masyarakat untuk ikut menyosialisasikan dan mendorong agar para pecandu dan
korban penyalahguna narkotika secara sukarela melaporkan dirinya ke Institusi
Penerima Wajib Lapor (IPWL) yang ditunjuk oleh Pemerintah sebagaimana amanat
dari Pasal 55 UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan PP No. 11 Tahun 2012
Tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika.
Pasal 55 UU No. 35 Tahun 2009,
menyatakan bahwa;
(1) Orang tua atau wali
dari Pecandu Narkotika yang belum cukup umur wajib melaporkan kepada pusat
kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan pengobatan
dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
(2) Pecandu Narkotika yang
sudah cukup umur wajib melaporkan diri atau dilaporkan oleh keluarganya kepada
pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis
dan rehabilitasi sosial yang ditunjuk oleh Pemerintah untuk mendapatkan
pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi medis dan rehabilitasi
sosial.
Oleh karena
amanat dari pasal 55 UU No. 35 Tahun 2009 tersebut, maka diperlukan pula peran
dari si pecandu/korban penyalahgunaan narkotika, keluarga dan masyarakat untuk
mendorong para pecandu tersebut agar secara sukarela melaporkan dirinya ke
Institusi Penerima Wajib Lapor untuk mendapatkan perawatan berupa rehabilitasi
medis dan sosial.
Di tahun 2015,
penanganan terhadap bandar/pengedar memang patut diacungi jempol, beberapa dari
mereka yang berasal dari luar negeri maupun dalam sudah dieksekusi mati.
Kebijakan dan keseriusan presiden bersama penegak hukum patut diapresiasi
karena telah menjalankan amanat UU Narkotika. Namun sekali lagi pertanyaannya
adalah bagaimana dengan penanganan para pecandu yang menurut UU adalah korban?